Pendidikan Nonformal, Belajar Sekaligus Memberdayakan

Rabu, 24 November 2021 20:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PERJUANGAN Indonesia untuk memajukan pendidikan telah dilakukan sejak bangsa ini lahir. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, masih ada 90 persen penduduk Indonesia yang buta huruf. Pada tahun 2020, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menyatakan penduduk yang buta aksara masih tersisa 1,7 persen atau 3,2 juta orang. Mereka yang masih buta aksara umumnya tinggal di daerah-daerah terpencil.

Perjuangan untuk menghapus buta huruf di bumi Indonesia dilaksanakan baik melalui sekolah formal maupun nonformal. Di pendidikan formal,  pemerintah melaksanakan Proyek SD Inpres melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.

Selain membangun sekolah, pemerintah saat itu juga mengangkat guru secara besar-besaran. Berkat pembangunan sekolah secara besar-besaran itu, Presiden Soeharto mendapat penghargaan Avicenna dari UNESCO pada 19 Juni 1993.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi jangan dilupakan, peran pendidikan nonformal yang membawa dampak sangat besar terhadap pengurangan jumlah warga buta aksara. 

Para guru di satuan pendidikan nonformal biasa disebut pamong belajar untuk yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan tutor untuk non PNS. Para pamong belajar mengajar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang dibangun oleh pemerintah. Beberapa SKB  juga merekrut  tutor karena kekurangan pamong belajar.

Sedangkan tutor umumnya bekerja di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dikelola oleh swasta. Partisipasi masyarakat terhadap pendidikan nonformal ternyata cukup besar. Jumlah PKBM terus berkembang hingga  mencapai 10.117 sesuai data per 20 November 2021. Sedangkan SKB berjumlah 447 satuan pendidikan di seluruh Indonesia.

(https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index31.php).

 

Memberdayakan Masyarakat

Pada awalnya, tugas SKB maupun PKBM adalah memberantas buta huruf. Mereka umumnya memiliki program Kesetaraan Paket A (Setara SD), Paket B (Setara SMP), dan Paket C (Setara SMA). Beberapa pendidikan nonformal sudah menambah program di luar kesetaraan, antara lain Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Bacaan Masyarakat, dan keterampilan.

Dengan berkembangnya waktu, SKB dan PKBM turut memberdayakan masyarakat sekitar.  Lembaga pendidikan nonformal saat ini telah melengkapi pendidikan mereka dengan kursus-kursus keterampilan dan kewirausahaan. Dengan demikian, selain peserta didik mengikuti program kesetaraan, mereka juga belajar keterampilan yang akan berguna ketika lulus nantinya.

Jenis keterampilan ini disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja setempat. Selain itu juga disesuaikan dengan potensi yang ada di sekitar sekolah nonformal tersebut.

 

Angkat Martabat Nelayan

Sebagai salah satu contoh pemberdayaan masyarakat, misalnya dilakukan PKBM Putri Anyelir, Lampung. Pelaksana pendidikan nonformal ini terletak di daerah sekitar pantai.

Kebanyakan warga belajar berasal dari keluarga yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Karena itu, PKBM Putri Anyelir  mengembangkan program keterampilan yang mengangkat ciri khas daerah pesisir.

Antara lain, keterampilan tata boga berupa produk makanan khas Lampung seperti sambal ikung (serundeng ikan), teri berontak, dodol bit, jus/sirup bit yang bahan bakunya mudah didapat di daerah Lampung.

Ada pula keterampilan kerajinan tangan seperti pembuatan aksesoris dari limbah sisik ikan. Warga belajar juga berlatih membuat kerajinan tangan dari kain flanel dengan menggunakan motif-motif khas Lampung. "Keterampilan yang kami pilih memiliki ciri khas daerah pesisir Lampung," kata Mardiana Putri, Ketua PKBM Putri Anyelir kepada penulis.

Saat ini, jumlah tutor sebanyak 12 orang ditambah satu ketua, satu bendahara, dan satu sekretaris. PKBM mengasuh 350 orang yang mengikuti Kesetaraan Paket A setara SD, Paket B setara SMP, Paket C setara SMA.

 

Kembangkan Batik Diwo

Sementara itu, PKBM Az-Zahra Kepahiang, Bengkulu banyak menampung anak-anak yang kesulitan mengikuti pendidikan formal. Antara lain karena mereka harus membantu orangtua bekerja baik di kebun maupun di pasar-pasar. Melalui sekolah nonformal, mereka bisa melanjutkan pendidikan karena jam sekolahnya yang relatif fleksibel.

Pada tahun ajaran 2020/2021 Az Zahra menampung 251 siswa yang terdiri dari Paket A, Paket B, dan Paket C. Peserta didik juga belajar membuat batik Diwo. Batik ini merupakan khas Kabupaten Kepahiang yang hampir punah karena tidak diajarkan lagi di sekolah. Pengrajin yang ada juga sudah lanjut usia.

Dengan kondisi seperti itu, PKBM Az-Zahra Kepahiang memilih keterampilan batik Diwo sebagai materi muatan lokal bagi peserta didik Paket B dan Paket C. "Kami juga menjadikan keterampilan batik Diwo sebagai unit usaha PKBM dan pemberdayaan perempuan di Kepahiang," kata Helmiyesi, Ketua PKBM Az Zahra.

Saat ini, PKBM sudah memiliki dua unit usaha batik Diwo yakni IKM Rumah Kreatif Batik Diwo Kepahiang di Desa Sidorejo Kecamatan Kabawetan, dan IKM Umeak Kain Diwo di Kelurahan Padang Lekat. Omset penjualan sudah mencapai Rp 6 -12 juta per bulan. "Dan tahun ini insyaallah akan dibuka tiga unit usaha Batik Diwo di Kecamatan Bermani Ilir dan Kecamatan Muara Kemumu," kata Umi Yesi, panggilan sehari-harinya.

 

Gunung Kidul Angkat Seni Kreatif

Sebuah pendidikan non formal di Gunung Kidul, Yogyakarta berani mengembangkan keterampilan ekonomi kreatif. SKB Gunung Kidul yang dipimpin Suharji ini menggelorakan keterampilan di bidang seni musik, tata boga, kecantikan dan sebagainya.

Bahkan, SKB Gunungkidul sudah memiliki studio rekaman yang tidak kalah dengan studio profesional. "Kami punya program musik khusus vokal. Saya menangkap peluang campur sari. Saya sebagai pelaku seni menangkap permintaan sinden cukup besar sekali terutama di acara hajatan-hajatan," kata Kepala SKB Suhardji kepada penulis.

Fakta di lapangan menunjukkan sebenarnya banyak sinden-sinden yang laku tapi sebenarnya tidak memiliki teknik menyanyi yang benar. "Jadi menurut saya perlu dikasih teknik vokalnya. Akhirnya saya memunculkan kursus teknik vokal dan telah mendapat anggaran dari  APBD," ujarnya.

SKB Gunungkidul juga akan  menambahkan kursus instrumen. Beda dengan kursus vokal,  kursus alat musik harus ada alatnya seperti piano, drum, dan gitar. "Insya Allah tahun 2022 kita sudah siap semua," ujarnya lagi.

Suhardji akan membuat kursus musik ini hingga semi profesional. Untuk pembelian alat musik tahun ini SKB Gunungkidul sudah mendapat dana dari pusat. "Malah anak paket C saya ini sekarang, ada dua orang penyanyi yang sudah masuk. Dia tahu, di sini ada alat musiknya," katanya.

Suhardji menyatakan pihaknya mengkampanyekan SKB Gunungkidul yang dipadukan paket  kursus, yakni kursus vokal, tata boga, kecantikan. SKB Gunungkidul juga mengadakan kursus barista yang nanti beberapa diantaranya akan bekerja di kafe. 

Suhardji menceritakan, alumni SKB Gunungkidul relatif mudah mendapatkan pekerjaan. "Rata-rata peserta kursus di sini berapa bulan sudah berani buka usaha sendiri. Kalau sebelum covid yang laris manis kursus rias pengantin," ujarnya.

Dari semua kisah ini, para pamong belajar dan tutor terbukti tidak hanya mendidik, tapi juga  turut mempersiapkan keterampilan agar para  peserta didik siap mandiri setelah lulus. Sungguh besar sepak terjang sekolah nonformal dalam menghapus buta aksara sekaligus memberdayakan masyarakat. 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pendidikan

img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pendidikan

Lihat semua